Amy Harahap-mahasiswa FEUI
"Novel ini sukses membuat saya penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di malam inaugurasi itu, bahasanya remaja banget dan mudah dimengerti. Personally, saya suka novel ini. It’s a good novel!”


Tidak ada yang tahu mengenai catatan hitam itu, catatan berupa halaman-halaman sebuah buku harian, yang tersimpan di ruang senat, di sudut yang begitu tersembunyi hingga baru ditemukan tiga puluh tujuh tahun kemudian. Catatan berisikan sebuah kesaksian yang berujung pada peristiwa pembunuhan di tahun 1967, tepat di Malam Inaugurasi. Tragisnya, penemuan catatan itu berada di saat yang sama ketika pembunuh berantai tengah berkeliaran di kampus ‘Persada Mulia’. Pembunuh berantai yang baru saja menghabisi nyawa lima mahasiswa baru, di tengah-tengah acara Malam Inaugurasi angkatan tahun 2004. Hal lain yang mengejutkan, terjadi juga serangkaian pembunuhan serupa pada tahun 1982, yang juga terjadi ketika Malam Inaugurasi tengah berlangsung, namun bedanya sang pembunuh lebih memilih nyawa sejumlah dosen sebagai sasarannya.

“AARRGGGHHH!!!” sebuah teriakan membahana di dalam kawasan kampus ‘Persada Mulia’, di pagi dini hari itu.
Teriakan itu berasal dari taman belakang kampus, yang menyerupai hutan kecil dikarenakan begitu banyaknya pohon berukuran tinggi besar yang tertanam di kawasan itu.
Teriakan yang begitu keras itu rupanya tidak hanya dilakukan oleh satu orang, namun tiga orang sekaligus. Ketiga orang itu adalah mahasiswi yang secara kebetulan melewati kawasan belakang kampus itu, untuk berjalan-jalan.
Satpam-satpam kampus buru-buru mendatangi arah datangnya suara, mereka sudah menduga teriakan-teriakan itu berasal dari taman belakang kampus.
Namun ketiga mahasiswi itu sudah lebih dulu menghampiri para satpam sebelum para petugas itu tiba di taman belakang kampus, para mahasiswi itu berlarian menghampiri mereka. Salah satu mahasiswi spontan pingsan setelah melihat para satpam yang mendatangi mereka. Kedua temannya yang lain buru-buru menahannya agar tidak terjatuh ke aspal.
“Nes! Nes! Aduh, pake pingsan segala lagi!” seru salah satu temannya yang sudah teramat panik, merasakan tubuh Nesi—temannya itu--semakin merosot di tangannya.
“Ada apa ini?!” tanya salah satu satpam, yang berada paling depan, bertanya kepada para mahasiswi baru itu.
“Di situ...” sahut salah satu mahasiswi, dengan suara bergetar menunjuk taman belakang kampus.
“...Ada mayat” sambungnya, terbata menjawab pertanyaan satpam.
Keempat satpam itu melihat ke taman belakang kampus, wajah mereka menegang, sikap mereka siaga.
“Pak Darto dan pak Hasan ikut saya, Tarmin tolong bantu ketiga anak ini. Bawa langsung ke ruang senat dan langsung laporkan ke ketuanya” ujar salah satu satpam berlabel nama Pohan itu.
Kemudian bersama kedua satpam lainnya, Pohan berlari dengan cepat menuju taman belakang kampus.


SESUATU yang maha panas bagai menjalari punggung Fery kala melihat jasad kelima mahasiswa baru yang tergeletak secara mengenaskan di taman belakang kampus itu. Dari name-tag kelima jasad yang tersemat di masing-masing tubuh mereka, Fery mengetahui nama-nama mahasiswa baru bernasib naas itu yaitu terdiri dari Airin Kumalasari (Airin), Barlevo Panjaitan (Levo), Haryo Iskandar (Aryo), Santi Risya (Santi), dan Lucky Hanung (Lucky).
Fery melihat bentuk tubuh kelima korban usai terbunuh memiliki kondisi yang sama, yaitu darah yang lebih banyak mengalir dari leher. Fery menduga pembunuh mengincar leher para korban sebagai jembatannya untuk mencabut nyawa mereka.
Suara-suara para panitia ospek angkatan 2003, angkatan Fery, riuh terdengar di telinganya. Suara-suara itu semakin lama semakin keras, karena para panitia yang baru saja terbangun di pagi hari usai mengadakan inaugurasi sepanjang malam itu. Tak sedikit yang menangis melihat kejadian itu, bahkan dua wanita pengurus inti senat, Karin dan Joan, juga ikut menitikkan air matanya. Selama beberapa saat, yang Fery dengar dari arah belakangnya adalah suara tangisan.
“Nah, tanggung jawab deh loe sekarang, Fer” sejenak kemudian terdengar celetuk pedas yang dilontarkan seseorang padanya.
Belum menolehkan kepalanya pun Fery tahu siapa yang berbicara di belakangnya itu. Temannya yang ia permalukan di hari pertama ospek karena telah berbuat sewenang-wenang terhadap mahasiswi baru. Ironisnya, kedua mahasiswi baru yang dibela Fery itu kini keduanya terbujur kaku berlumur darah di depannya saat ini.
“Ini semua karena kelalaian loe dan semua anak buah loe kan. Sok gaya loe, senat!” kembali suara itu bergaung di telinga Fery, kali ini perkataannya lebih menancap hatinya. Ia tidak lagi mampu menahan dirinya untuk tidak menoleh ke arah suara yang memuakkannya itu.
“Tolong loe diem, Sen. Kita semua di sini harus tenang, sampai polisi dateng. Pak Pohan, polisi udah sampai mana sekarang?” Fery berucap dengan sabar, ia menahan amarahnya kepada Seno yang sewaktu-waktu dapat meledak. Ia tetap fokus terhadap tanggung jawab besarnya saat ini.
Pak Pohan mengangguk, “Mereka sebentar lagi sampai, mas.”
“Seenaknya aja loe nyuruh gue diem!” tukas Seno, hampir berbarengan dengan jawaban Pohan.
Namun belum sempat Fery menjawabnya, sebuah tinju sudah melayang menghantam wajah Seno. Membuat pria bertubuh besar dan berwajah sangar itu limbung dan jatuh. Rupanya itu ulah Anton, yang juga pengurus inti senat. Amarah pria yang postur tubuhnya tidak kalah besar dengan Seno ini, ternyata sudah lebih dulu meledak.
“Bisa diem nggak loe sekarang?” tanya Anton, berteriak kepada Seno yang tersungkur di kakinya, sambil mengelus tulang pipinya kanannya.
“Kurang ajar loe!!!”
Namun Seno tidak mengikuti perkataan Anton, ia justru bangkit dan mencengkeram kerah almamater yang dipakai Anton.
“Brengsek loe Sen!” kini Fery balas menarik kerah belakang almamater Seno. Menariknya dengan kasar.
Melihat itu, teman-teman Seno yang lain ikut membela Seno. Mereka semua merubungi Fery, mendorongnya, memukulnya. Anton berusaha melindungi Fery dari berbagai serangan itu, dan baku hantam antar pengurus ospek tak bisa terelakkan lagi.
“Heh... Heh... kok malah jadi berantem gini!!! Heh, berhenti!!! Pak Hasan! Pak Tarmin! Pak Darto! Tolong bantu saya!!!” Pohan berteriak histeris, terkejut dengan keadaan menyulitkan ini.
Ketiga satpam yang lain ikut membantunya, begitu pun dengan mahasiswa yang lain, berusaha melerai kedua kubu itu. Sementara para mahasiswi menjauh dari arena perkelahian, kembali ke aula, dipimpin oleh Karin dan Joan. Mereka tidak ingin ikut terlibat.
“DOR!” tiba-tiba terdengar suara tembakan memecah langit pagi kampus ‘Persada Mulia’. Semua terkejut, menoleh ke arah suara, termasuk para mahasiswa yang berkelahi itu.
“Berhenti! Polisi!” seru salah seorang pria berjaket hitam, bertubuh kekar yang berjalan paling depan. Ia masih menggenggam pistol yang salah satu pelurunya baru ditembakkannya ke arah langit. Di belakang pria itu terdapat belasan polisi berseragam yang mengikutinya, mereka datang dengan tiga mobil SUV milik kepolisian, termasuk diantaranya para petugas rumah sakit yang baru saja datang dengan menaiki Ambulance.
AKP Gilang melihat dengan serius tubuh korban bernama Airin yang sudah ditaruh di atas tandu milik rumah sakit itu, menyalakan senter kecilnya agar ia bisa memprediksikan kedalaman luka tusukan yang diciptakan oleh sang pembunuh di tubuh korban-korbannya ini.
“Goresan sama, Lang. Di anak ini juga” ujar AKP Raka, rekannya, yang berada satu meter dari posisi Gilang.
“Dua kali torehan panjang di leher, dan tusukan dalam di jantung” sahut Gilang, disambut anggukan setuju Raka.
“Gue rasa pembunuh ini nggak hanya pakai satu senjata” ujar Raka, berdiri, memberi tanda pada petugas rumah sakit untuk membawa jasad Aryo.
“Kenapa?” tanya Gilang, membuka salah satu sarung tangan lateksnya. Ia juga ikut berdiri dan memberi tanda pada petugas rumah sakit agar membawa jasad Airin untuk diotopsi.
“Lubang di jantung korban bernama Aryo tadi terlalu kecil untuk dihantam dengan pisau yang besar. Sementara pisau sekecil itu nggak mungkin bisa gorok leher mereka, luka di leher terlalu besar untuk sebuah pisau, mungkin kapak.”
“Apa karena pisau itu tajam?”
Raka menggeleng tegas, “Gue yakin pisau yang digunakan si pembunuh itu kecil. Bisa jadi itu s...”
“Scalpel? Masa sih?” potong Gilang, sudah mencerna maksud Raka.
“Sekarang scalpel mudah didapat, Lang. Untuk ukuran scalpel yang bagus, brandnya dibeli di luar”
“Pembunuhnya menengah ke atas?”
Raka mengangguk, “Itu prediksi sementara gue. Tusukan scalpel itu untuk melumpuhkan korban. Tapi tujuan utama pembunuh itu di syaraf leher”
“Dan nggak ada scalpel yang tertinggal” gumam Gilang.
“Kita lihat aja nanti, Lang. Kalau mata pisau scalpel ada yang tertinggal di tubuh korban, berarti scalpel itu bisa aja buatan dalam negeri. Bisa dibeli dengan harga rata-rata. Tapi kalau nggak ada mata scalpel yang tertinggal, dan potongan di syaraf pembuluh darah mereka halus dan teratur, itu berarti kelas luar negeri. Kelasnya orang-orang menengah ke atas”
Seorang polisi menghampiri AKP Raka dan AKP Gilang, ia memberikan mereka masing-masing kertas berisi daftar barang-barang milik korban beserta laporan sementara TKP lainnya.
“Nihil, murni bukan perampokan, nggak ada barang yang hilang. Scalpel, none. Nggak ada apapun yang tertinggal di tubuh korban” ujar Gilang perlahan.
“Bener kan” sahut Raka, tersenyum.
Gilang memandang Raka, sejenak berpikir, “Kita simpen dulu aja prediksi loe, sampai hasil wawancara dan visum keluar”


Apa kaitan dari berbagai peristiwa pembunuhan yang terjadi pada tahun 1982, tahun 2004 dan juga pembunuhan tahun 1967 di kampus itu? Mengapa semua pembunuhan di ketiga zaman itu sama-sama terjadi saat berlangsungnya Malam Inaugurasi? Lalu apa isi dari catatan yang baru terungkap setelah tiga puluh tujuh tahun lamanya tersimpan di ruang senat?
Semua akan terjawab bila Anda benar-benar mengikuti acara ‘Malam Inaugurasi’ ini hingga selesai...

OST Malam Inaugurasi - Elvis Presley